Mengamati Pelaksanaan Musrenbang Kabupaten Batang

Februari 2, 2010 at 12:01 pm Tinggalkan komentar

MENGAMATI PELAKSANAAN MUSRENBANG KABUPATEN BATANG
Oleh : Muhamad Imron
Pembangunan daerah adalah proses pembangunan yang berlangsung secara terus menerus dan berkelanjutan yang dilaksanakan di daerah yang menyangkut berbagai aspek, ekonomi, sosial, politik dan budaya dengan mempertautkan potensi yang ada. Pembangunan daerah tersebut biasa dikenal dengan ‘pembangunan partisiptif’, yaitu model perencanaan pembangunan yang melibatkan pemerintah, legislatife, Ormas, LSM dan elemen masyarakat lainnya yang mengarah pada terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance) dalam rangka menentukan kebijakan (policy) dan arah pembangunan daerah. Salah satu media yang digunakan dalam pembangunan daerah adalah melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten/kota.
Oleh Cleaver (2000), pembangunan seperti ini lebih dipahami sebagai kontribusi masyarakat untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan. Dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum (law enforcement), kepentingan umum (public interested), transparansi, proporsional, profesional, akuntabilitas dan berkelanjutan.
Secara – yuridis – formal, dalam UUD 45 telah disebutkan bahwa anggaran ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari aspek hukum, kebijakan pembangunan partispatif telah diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain adalah UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang mengisyaratkan adanya kerangka perencanaan jangka menengah (medium term expenditure frame), UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 105 tentang Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP No. 108 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Juga Surat Edaran Bersama No. 1354/M.PPN/03/2004-50/744/

Sj oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pemerintah daerah menjaring partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran (participatory budgeting and expenditure tracking).
Berpijak dari beberapa peraturan perundang-undangan di atas, setiap daerah dituntut untuk mampu mengimplementasikannya dengan baik. Termasuk dalam hal ini adalah Kabupaten Batang. Maka untuk mempermudah proses perencanaan tersebut, pemerintah daerah mengeluarkan kemudian Surat Keputusan Bupati No. 14/2003 tentang Pedoman Perencanaan Pembangunan Partisipatif. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa tujuan diselenggarakannya pembangunan adalah untuk meningkatkan kualitas peran serta seluruh pelaku pembangunan, dan menghasilkan perencanaan pembangunan yang partisipatif. Karena itulah, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan daerah (lihat pasal 5).
Adapun mekanisme pelaksanaannya telah diatur dalam pasal 6. Pertama, setiap perangkat daerah wajib menfasilitasi dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif dari tingkat desa/kelurahan (Musrenbang), kecamatan (Musrenbangcam) dan daerah (Musrenbangkab/kota) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Kedua, setiap Dinas, Badan, Kantor dan Sekretariat Daerah wajib menyerap hasil Rakorencam untuk menjadi usulan program pembangunan ke dalam Rakorenda dengan memperhatikan Program Pembangunan Daerah (Propeda) dan Rencana Strategi Daerah (Renstrada). Adapun bentuk partisipasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, lisan atau tulisan, perorangan maupun kelompok atau perwakilan.
Pelaksanaan Musrenbang di Kabupaten Batang tahun 2009 dilaksanakan pada tanggal 27 Januari sampai 14 Februari 2009. Kegiatan dilaksanakan oleh Bappeda bekerja sama dengan konsorsium Demokrasi Rakyat untuk Perubahan (Derap) Kabupaten Batang. Sebuah lembaga non pemerintah yang di dalamnya beranggotakan beberapa organisasi yang berasal dari berbagai unsur, Ormas, organisasi pemuda, mahasiswa dan pelajar. Diantaranya adalah GP. Ansor, Fatayat, Lakpesdam, IPNU-IPPNU, Jakartani, Alur, Jeram, E-move, PAB, FKMBI dan KMBS.
Oleh pemerintah daerah, konsorsium ini dipercaya sepenuhnya untuk mengawal sekaligus menjadi pemantau dalam pelaksanaan Musrenbang, mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten dengan membentuk tim pada setiap kecamatan yang berjumlah tiga personil dengan tiga fokus desa pemantauan sebagai sampel. Sehingga jumlah keseluruhan adalah 15 tim dengan 45 personil dan 45 desa representatif. Kegiatan ini berjalan dengan baik, meskipun di sana-sini masih dijumpai banyak kekurangan.
Dari hasil pemantauan di lapangan, hampir seluruh elemen masyarakat terlibat, mulai dari pemerintah desa, perwakilan RT/RW, Ormas, tokoh masyarakat, pemuda dan elemen masyarakat lainnya. Antusiasme masyarakat nampak terlihat dengan besarnya frekuensi usulan yang disampaikan, sebagian besar adalah pembangunan fisik sarana umum. Namun demikian, tidak semua usulan yang berasal dari Musrenbangdes terakomodasi, karena sudah ada form dan konsentrasi pembangunan yang ditetapkan. Sehingga ada beberapa usulan yang tidak terakomodasi, terutama ketika sudah mencapai pada tingkat kecamatan.
Sekedar meminjam teori Mark Considine (Public Policy A Critical Approach, 1994), kebijakan selalu mencakup struktur yang mendua. Di satu sisi kebijakan mempunyai dimensi instrumental dalam menghasilkan keputusan, program, dan hasil lainnya dengan nilai-nilai yang diyakini -oleh aktor pembuat kebijakan (policy maker)- adanya seperangkat komunikasi norma-norma etika dan moral, jalinan kepercayaan (trust) dan solidaritas antar aktor. Di sisi lain kebijakan dapat menghasilkan ‘nilai-nilai’ yang anti nilai, seperti dominasi dan proses non-developmental. Dan nilai-nilai yang menjadi basis kebijakan publik dapat bersifat antagonistik.
Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian tidak berada dalam ruang terbuka untuk melakukan proses demokratisasi. Di mana dalam proses ’demokrasi-formulasi’ kebijakan publik terdapat proses dialogis antarelemen pengambil dan pemanfaat keputusan politik dalam merumuskan suatu kebijakan. Ironisnya, dalam pelaksanaan kebanyakan digantikan dengan pengarahan-pengarahan berdasarkan prosedur juklak dan juknis yang telah disepakati secara “bulat” dalam proses pembuatan suatu kebijakan.
Institusionalisasi kedewasaan berargumentasi dalam kebijakan tidak tumbuh, partisipasi masyarakat terabaikan, dan legitimasi publik akan pemerintahan luntur. Dengan demikian, kebijakan dipandang menjadi milik sekelompok orang atau elite yang mengatasnamakan masyarakat untuk merealisasikan kepentingan ’publik’. Karena itulah, tidak heran jika kemudian masyarakat menjadi apatis. Hal ini nampaknya disebabkan oleh minimnya usulan-usulan masyarakat yang terakomodasi dalam APBD.
Kita dapat menengok hasil pengamatan FITRA (2005/2006), usulan-usulan masyarakat hampir 50% di tingkat kecamatan hilang, sementara pada tingkat Rakorbang hilang sampai 80%. Hal ini mengindikasikan bahwa pertarungan aspirasi masyarakat pada level yang lebih tinggi dengan mudah dikalahkan oleh usulan-usulan sektor. Kekecewaan masyarakat bertambah ketika ditolaknya usulan mereka tidak disertai penjelasan atau alasan, dan berapa usulan mereka yang diterima. Dengan demikian, dominasi eksekutif dan legislatif dalam proses perencanaan dan penetapan anggaran harus dikurangi.
Dalam kaitannya dengan ini, pemerintah hendaknya ‘membangun kemitraan strategis’ dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat aktif dalam perencanaan penganggaran. Sebagaimana diketahui, selama ini proses perencanaan, pembahasan, penetapan dan implementasi penganggaran selalu didominasi oleh pemerintah dan legislatif. Dan pelaksanaan Musrenbang di kabupaten Batang tahun 2009 nampaknya sudah cukup menjadi representasi bagi terlaksananya pembangunan daerah yang partisipatif, aspiratif dan demokratis.
Banyak usulan yng terakomodasi di tingkat kecamatan dan kabupaten, meskipun ada beberapa yang sempat pupus. Namun bukan berarti pemerintah mendominasi dalam proses perencanaan daerah tersebut. Ada beberapa prioritas pemerintah dalam kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga usulan yang di’ketok palukan’ tidak melulu pada persoalan pembangunan fisik sarana umum an sich, tetapi banyak kebutuhan jangka pendek dan panjang yang lebih esensial.
Tugas pemerintah selanjutnya adalah dengan melakukan upaya secara sungguh-sungguh dalam mewujudkan pembangunan di daerah, sehingga tidak menyisakan kekecewaan dan traumatik serta apatisme masyarakat terhadap pemerintah di kemudian hari. Proses perenecanaan yang telah berjalan tidak hanya menjadi gawean rutin tahunan dalam kapasitas formal semata, tetapi harus diejawantahkan dengan baik berdasarkan aspirasi yang ada.
Proses Musrenbangdes, Musrenbangcam dan Murenbangkab yang tersaji dalam laporan ini diharapkan tidak sebatas menjadi instrument semata, tetapi benar-benar menjadi acuan pelaksanaan program pembangunan Kabupaten Batang tahun 2009/2010. Sehingga tercipta pembangunan daerah yang terarah, transparan dan berpihak pada rakyat. Semoga bermanfaat.
Muhamad Imron
Penulis adalah ketua PC. IPNU Batang

Entry filed under: Seputar Batang.

Upaya Penanggulangan HIV/AID di Batang ETIKA MEMILIH PEMIMPIN

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Arsip